Aku dan Mimpiku (Bagian 1)


Lelah juga seharian melakukan aktifitas yang menguras tenaga dan pikiran. Sejenak memanfaatkan waktu luang hanya sekedar untuk merebahkan badan yang kalau diibaratkan mesin inilah waktu untuk turun mesin. Sembari merebahkan diri, oh…..nyaman sekali, hingga tak terasa zz…zz.zzz……..

05.00….
Kring…kring…..!
Suara akrab sapaan pagi dari alarm jam weker. Meskipun sudah di set up jam 5 pagi dan itupun sudah diketahui serta harus dimaklumi namun tetap saja sapaan pagi itu selalu mengagetkan dan membuatku sedikit menggerutu. “Kenapa harus pagi lagi?” Masih dengan rasa malas yang menggelayut dan sedikit gerutuan kumatikan alarm itu. Bengong…sembari mengumpulkan nyawa dan kesadaran yang masih di awang-awang entah kemana dengan berat hati dan langkah gontai segera kumelangkah menuju kamar mandi. Sekedar mencuci muka dan melakukan aktifitas rutin pagi hari. Toh tidak selamanya aktifitas pagi membosankan dan memberatkan hati. Masih ada harapan yang bisa membangkitkan semangat. Surat kabar alias koran! Aku sendiri heran mengapa benda yang hanya setumpuk kertas itu bisa membuatku bergairah?

Perlahan kubergegas menuju teras dimana biasanya tumpukan kertas itu berada. Sembari sedikit melakukan peregangan sekedar untuk mengembalikan kesadaran.
Pelan-pelan kubuka tirai, “Masih pagi..” gumamku. Kubuka jendela ruang tengah, semilir angin berseruling menerpa wajahku, “Heh…” selalu saja angin pagi ini
setia menyapaku. Bau embun dan rerumputan basah masih saja tercium. Rupanya semalam turun hujan, mungkin karena terlalu capai atau memang sudah menjadi kebiasaan kalau tidur tidak menyadari apapun yang terjadi di sekitarnya hingga hujan turunpun tidak terdengar. Kuputar kunci pintu dan segera melangkah menghampiri surat kabar pagi yang tergeletak di lantai, sedikit basah terkena sisa air hujan semalam.

Menjadi kebiasaan bagi sang loper untuk melemparkan surat kabar itu dari luar halaman sembari tetap mengendarai sepedanya. Barangkali dia pikir benda ini sekedar onggokan kertas yang jika sudah dibaca, ditumpuk, sembari menunggu tukang loak yang akan membelinya secara kiloan. Seakan sudah menjadi barang basi dan sesegera mungkin harus disingkirkan. Apa mereka tidak tahu dari lembaran-lembaran itu, apa yang terjadi di negeri seberang bisa hadir dalam ruang pribadi pembacanya? Apa mereka tidak tahu kalau dari lembaran itu bisa diketahui isu-isu yang hangat berkembang? Dan ini bisa mempengaruhi keputusan-keputusan para pembesar negeri ini. Bahkan tidak jarang pimpinan perusahaan-perusahan yang menurut ruang lingkupnya sudah berstatus multinasional sedikit banyak mendapatkan pertimbangan dan masukan dari isu serta berita yang mereka baca.

Toh kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan loper-loper koran itu. Bayangkan di saat kita masih enak-enak tidur, menarik selimut, e…e.. alih-alih mereka dengan menahan rasa kantuk harus bergegas menuju agen-agen surat kabar pagi. Mengambil surat kabarnya dan sesegera mungkin mendistribusikannya kepada pelanggan. Bukannya ucapan terima kasih yang harusnya mereka terima, tetapi terkadang justru umpatan dan suara-suara bernada keberatan saat surat kabar itu diterima terlambat di tangan pembacanya. Dalam hal ini rasa maklum memang harus dikedepankan. Terburu-buru, menahan kantuk dan dingin sudah menjadi rutinitas bagi mereka. Jadi bila cara yang mereka lakukan dalam mendistribusikan surat kabar pagi itu harus dengan dilempar, kitapun harus memahami. Itulah cara mereka menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Barangkali kalaupun mereka harus mengeluh, “Begini salah, begitu salah…”

Segera setelah kuambil surat kabar pagi aku kembali melangkah ke dalam, mempersiapkan ritual lainnya. Roti panggang! Hal lain yang membuaku bergairah. Segera kuraih alat panggang roti, mengambil 2 pasang roti dan kuolesi selai kacang. Sambil menunggu roti panggang matang, ada faktor lain yang akan menjadi pasangan roti panggang selai kacang. Teh manis hangat…! Faktor lain yang menurutku sangat berpengaruh bagi roti panggang selai kacang. Setelah sepasang menu yang kuanggap sudah menjadi pasangan serasi dan tidak dapat dipisahkan siap, aku melangkah ke sofa. Kuraih remote control, klik..on! Menyalah benda bernama televisi.

Televisi, yang diabad modern ini seakan sudah menjadi berhala dan sesembahan baru.Mulai dari fim, sinetron, berita bahkan isu-isu artis alias gosip. Kawin cerai, pertengkaran, perselisihan seakan sudah menjadi menu harian. Sesuatu yang harusnya menjadi ranah pribadi hadir dalam ruang publik. Hal yang seharusnya ditutupi justru diungkap secara gamblang dan seakan-akan hadir nyata dalam ruang pribadi pemirsanya. Umberto Eco menyebutnya sebuah Hyper Reality, realitas yang kebablasan. Hal yang sebenarnya imitatif dan semu seakan-akan nyata.

Itulah televisi, hingga seorang Boudrillard menyebut benda ini sebagai suatu model-model sosial artifisal yang terbentuk lewat relasi, interaksi dan komunikasi yang bersifat artifisial. Suara penyiar berita sayup-sayup terdengar. Pikiranku sedang terkonsentrasi pada lembar pertama surat kabar pagi. Sebuah headline yang membuatku terperanjat dan bergidik merinding…

Apa yang terjadi? Pusatkan penglihatan dan konsentrasi anda…
Saya akan kembali ke ruang pandang anda pada episode selanjutnya…
“Selamat pagi…!”

One thought on “Aku dan Mimpiku (Bagian 1)

  1. Tulisannya terlalu panjang. Seharusnya bisa di “read more”. Pelajari buku petunjuk lagi, ya.

Tinggalkan komentar