Maaf Anda Ketinggalan Kereta


oleh : Mochamad Elman
Wartawan Jawa Pos
dimuat di harian Jawa Pos
Rabu, 28 Mei 2008

Saya membayangkan Emir Kuwait Ahmad jabir Al Shabah dan Presidan Venezuela hugo Chavez, dua pemimpin negara anggota OPEC, saat ini sedang geleng-geleng kepala melihat laporan Al Jazirah atau CNN tentang demo ibu-ibu membawa rantang dan jeriken minyak di depan Istana Merdeka. Keduanya tak membayangkan saat negara-negara anggota klub eksklusif itu berpesta menaggapi melambungnya harga minyak di atas USD 130 per barel, orang Indonesia-yang juga anggota OPEC-sedang marah karena harga BBM naik.

Siap atau tidak, kali ini rezeki nomplok yang membuat negara-negara OPEC kian kaya itu tak akan kita miliki. Penyebabnya, kita tak memiliki kearifan seperti daerah penghasil migas di Skandinavia. Saat pompa di sumur-sumur migas mereka erus menderum, mereka menginvestasikan petrodolar untuk membuat infrastruktur energi baru tenaga angin, matahari dan lain-lain.

Dengan langkah itu, konsumsi minya-energi yang terbatas-terus ditekan, sementara uang minyak dipakai membangkitkan sumber-sumber energi yang terus terbarukan.

Kini, meski kita menyandang status anggota OPEC, minyak yang kita impor untk memenuhi keperluan dalam negeri justru lebih besar daripada yang kira ekspor. Kita turun derajat seperti negara-negara paria yang tak punya minyak.

“Sorry, You missed the train (Maaf, Anda ketinggalan kereta),” mungkin itu yang digumamkan Hugo Chavez sambil termangu di depan televisi melihat ekskalasi demo menentang kenaikan BBM di tanah air saat ini.

Klub negara-negar kartel minyak sedang menuju tingkat kekayaan yang bahkan mereka sendiri tak pernah membayangkan sebelumnya. Pakar energi Gal Luft dari Amerika mengatakan, jika minyak nanti menembus USD 200 per bael, OPEC punya kemampuan membeli Bank of America hanya dengan memompa minyak sebulan, mengambil alih Apple Computers hanya dalam seminggu dan bahkan memiliki General Motors dalam tiga hari.

Minyak atau crude oil adalah senyawa kimiawi terbaik dan paling murah yang dipersembahkan Tuhan. Benda itu sangat efisien dan tidak bisa tergantikan oleh apapun. Termasuk dari bahan tumbuh-tumbuhan, seperti bioetanol dan lain-lain. Bioetanol memang oke untuk bahan alternatif. Namun, tetap bisa mengundang masalah baru.

Untuk seliter bioetanol, misalnya, energi yang dikeluarkan untuk membuatnya tidak sebanding dengan kegunaannya. Belum lagi dampak produk massal etanol bagi keseimbangan stok pangan.

Lihat saja, harga minyak justru naik ke level tertinggi dalam sejaraha justru ketika banyak negara sedang berpaling ke bioetanol. Mengikuti langkah Brazil, Amerika misalnya, sedang mengupayakan pembuatan pebrik bioetanol secara besar-besaran. Itulah yang menyebabkan harga beberapa komoditas pertanian naik drastis. Sebab negeri adidaya tersebut sedang mengurangi ekspor jagung, tebu dan komoditas lain untuk bahan bioetanol.

Dulu era Soeharto, hal yang selalu jadi indikator capaian prestasi ekonomi adalah ekspor nonmigas. Maksudnya, pemerintah melihat indikator ekspor industri manufaktur, hasil perkebunan, jasa dan lain-lain sebagai prestasi yang patut dicapai, di luar migas yang semata-mata sebagai limpahan rezeki yang diberikan Tuhan.

Namun sayang kita lupa untuk mempertahankan neraca tetap surplus pada produksi dibanding konsumsi migas. Salah satunya karena hingga saat ini kita belum memilki kebijakan tentang energi ayng baik. Padahal kita memiliki sumber yang melimpah. tak perlu menyebut terlalu banyak:energi panas bumi. Alam kita dipenuhi dengan gunung berapi yang melimpah. Menurut sebuah laporan di Newsweek beberapa tahun lalu, Indonesia tak perlu nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik. Sebab kalau mau dan mampu, “magma” yang kita punya bisa memenuhi seluruh tenaga listrik kita.

Kita prihatin, efisiensi tranportasi massal di tanah air belum kunjung terwujud. Sebaliknya, “sepeda motorisasi” terus membengkak. Ini membahayakan dari sisi neraca konsumsi BBM. Di Surabaya, truk pengangkut para prajurit dan pegawai sipil semakin jarang. Sebaliknya, para tentara kian banyak berseliweran ke kantor dengan sepeda motor baru.

Beda dengan oil shock 1970-an, seperti yang kita lihat sekarang dengan minyak yang sudah melebihi USD 130 per barel, saat ini tidak terjadi resesi dunia. Ekonomi di banyak negara tetap tumbuh. Terutama negara-negara maju berhasil melakukan berbagai adaptasi sehingga kenaikan harga minyak tak sampai menghancurkan ekonomi mereka.

Seandainya minyak bumi nanti menembus USD 200 per barel pun, saya yakin dunia tak akan menjadi kiamat. Negara-negara Arab yang kebanyakan dipimpin para despot memang akan semakin kaya raya. Tapi ekonomi dunia tetap jalan meski sedikit terganggu. Namin ketika itu, tak bisa dijamin bahwa Indonesia bisa mengatasi gejolak yang terjadi.

Kunci yang bisa kita lakukan adalah membuat diversifikasi energi yang tepat, meningkatkan lifting produksi minyak, serta menekan konsumsi migas. Saya kagum ketika berkunjung ke Jepang tahun lalu melihat semakin banyak “pohon” kincir angin bertebaran untuk membangkitkan listrik tenaga angin.

Saya tak ingin suatu saat jika minyak menembus USD 200 per barel, ketika bayak negara sudah jauh lebih siap dengan energi alternatif, lebih banyak rakyat kita yang demo serta memukul-mukul rantang dan jeriken di Istana Merdeka. Sat itu mungkin giliran PM Jepang yang nonton berita di televisi NHK menitikkan air mata dan bergumam, “Sorry, You missed the train (again)”.

Tinggalkan komentar